Sabtu, 30 Januari 2016

Makalah Ijtihad

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar  Belakang
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan berbagai inovasi dan produktivitasnya adalah tantangan serius hokum Islam yang selama ini berjalan secara stagnan, rigid dan konvensional. Iptek tidak mungkin akan bergerak ke belakang dan pasti bergerak ke depan untuk merekayasa peradaban manusia dengan kekayaan kreasi dan progresivitasnya. Kalau sekedar mengandalkan al-turats al-islamiy dengan paradigma konvensional, tentu banyak fenomena kontemporer yang jatuh pada masalah mauquf (dipending) karena belum ada nash yang meresponnya. Kalau itu yang terjadi, suara hokum Islam tidak akan didengar lagi gelombang modernisasi yang sudah sangat maju. Dalam konteks ini, sudah saatnya umat Islam mengoptimalkan seluruh daya pikirannya untuk dinamisasi, reaktualisasi dan refungsionalisasi hokum Islam agar formulasi hokum Islam relevan dengan kondisi kekinian yang selalu berubah setiap saat. Untuk merespon semua itu diperlukan ijtihad dari orang-orang yang memiliki kapsitas keilmuan yang mumpuni dalam menanggapi berbagai problematika kekinian (Misbahuddin,2014:129).
Usaha untuk tetap menjaga eksistensi syariat Islam dan terlepas dari belenggu kekakuan dan ketertinggalan zaman, maka ijtihad satu-satunya jalan yang harus dilakukan secara maksimal. Dengan ijtihad, reaktualisasi nilai-nilai syariat Islam tetap actual dan dapat dipertahankan dalam kehidupan praktis(Shuhufi,2012:3).
Oleh karena itu, di dalam makalah ini akn dibahas mengenai pengertian ijtihad, dasar hukum ijtihad, kedudukan ijtihad, fungsi ijtihad, obyek ijtihad, macam-macam ijtihad, serta syarat-syarat Mujtahid dan tingkatan-tingkatannya.
B.     Rumusan Masalah
Adapaun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1.      Bagaimana pengertian ijtihad?
2.      Bagaimana dasar hukum ijtihad?
3.      Bagaimana kedudukan dan fungsi ijtihad?
4.      Bagaimana objek ijtihad?
5.      Bagaimana macam-macam ijtihad?
6.      Bagaimana syarat-syarat mujtahid serta tingkatannya?
C.    Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Untuk mengetahui pengertian ijtihad.
2.      Untuk mengetahui dasar hukum ijtihad.
3.      Untuk mengetahui kedudukan dan fungsi ijtihad.
4.      Untuk mengetahui obyek kajian ijtihad.
5.      Untuk mengetahui macam-macam ijtihad.
6.      Untuk mengetahui syarat-syarat mujtahid dan tingkatannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ijtihad
Secara etimologi ijtihad berasal dari akar kata ja ha da yang berarti kesulitan dan kesusahan. Dari sudut ilm sharf kata ijtihad bentuknya mengikuti pola timbangan ifti’al yang menunjukkan arti berlebih (mubalagah) dalam melaksanakn suatu perbuatan. Dengan demikian, dapat dirumuskan bahwa berijtihad bukanlah kegiatan yang mudah atau ringan, tetapi mengandung kesulitan serta membutuhkan pengerahan tenaga dan daya pikir yang maksimal.[1]
Dilihat dari segi kebahasaan, kata ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan untuk mewujudkan sesuatu. Maka, jika disederhanakan perumusannya, ijtihad bermakna kerja keras dan bersungguh-sungguh, Dengan demikian, setiap pekerjaan yang dilakukan dengan maksimal serta mengerahkan segenap kemampuan yang ada, dinamakan ijtihad dan pelakunya dinamai mujtahid(Shuhufi,2012:11-12).
Kemudian, kata tersebut digunakan sebagai salah satu istilah dalam kajian ushul fiqh yang bermakna “usaha maksimal ulama fiqh dalam melakukan kajian untuk memperoleh ketentuan-ketentuan hukum yang bersfat zanni”. Dengan demikian, setiap terungkap istilah ijtihad dalam pembahasan ilmu ushul fiqh, bermakna usaha-usaha maksimal yang dilakukan para ulama fiqh untuk merumuskan pemikiran-pemikiran fiqh, baik berupa hasil pemahaman terhadap teks lafal Alqur’an dan Sunnah, maupun hasil analisa terhadap persoalan-persoalan actual yang mereka hadapi. Namun, kekuatan hukum hasil ijtihad bersifat sanni, yakni memiliki peluang benar dan salah, dengan dugaan terkuat pada benarnya bukan pada salahnya(Shuhufi,2012:12).
Secara terminologis, Abdul Wahhab Khallaf mendefinisikan ijtihad sebagai pengerahan daya upaya untuk sampai kepada hukum syara dari dalil yang terinci dengan sumber dari dalil-dalil syara. Sedangkan Muhammad Abu Zahrah mengartikannya sebagai daya upaya ahli hukum Islam semaksimal mungkin dalam menginstinbatkan hukum praktis dari dalil-dalinya yang terperinci. Muhammad Musa Tuwana juga memberikan definisi ijtihad yang senada yakni dalam pengerahan segala upaya ahli hukum Islam dalam menggali hukum-hukum syara yang berstatus cabang dari dalil-dalilnya(Misbahuddin,2014:130).
Istilah ijtihad itu tidak dapat dipisahkan dari istilah ra’yu (rasionalitas). Istilah ra’yu dapat diartikan sebagai upaya pencarian dan perenungan terhadap masalah-masalah tertentu berdasarkan Al-Qur’an dan hadis atau prinsip-prinsip umum syariat Islam. Merenung dan mentadabburi sesuatu adalah pekerjaan rasio. Karena itu, istilah ra’yu tidak bisa dipisahkan dari kata ‘aql. Al-Qur’an sangat menganjurkan kepada umat Islam untuk memaksimalkan potensi akal. Dalam kaitannya denga ijtihad dibidang fiqh, Imam al-Gazali menyatakan bahwa akal manusia hanya dapat menetapkan hukum mengenail kasus-kasus tertentu yang secara eksplisit tidak terdapat dalam wahyu. Pendapat ini mewakili pendapat Sunni pada umumnya. Bagi kelompok ini, wahyu mempunyai kedudukan yang sangat menentukan dalam menetapkan hukum(Misbahuddin,2014:131).
Menurut Misbahuddin(2014,131), dengan melakukan analisis dari beberapa definisi yang dikemukakan tersebut dan membandingkannya dari berbagai sudut pandang, maka dapat ditarik konklusi dari hakikat dan substansi dari ijtihad itu yaitu:
a.       Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.
b.      Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.
c.       Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat praksis.
d.      Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
B.     Dasar Hukum Ijtihad
Menurut Effendi (2005,246), banyak alasan yang menunjukkan kebolehan melakukan ijtihad, antara lain :
1.      Q.S An-Nisa ayat 59 :
Description: A059


Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Q.S: an-Nisa’/4:59)
Perintah mengembalikan sesuatu yang diperbedakan kepada Al-Qur’an dan Sunnah, menurut Ali Hasaballah adalah peringatan agar orang tidak mengikuti hawa nafsunya, dan mewajibkan untuk kembali kepada Allah dan Rasul_nya dengan jalan ijtihad dalam membahas kandungan ayat atau hadist yang barangkali tidak mudah  untuk dijangkau begitu saja, atau berijtihad dengan menerapkan kaidah-kaidah umum yang disimpulkan dari Al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah, seperti menyamakan hukum sesuatu yang tidak ditegaskan hukumnya dengan sesuatu yang disebutkan dalam al-Qur’an karena persamaan ‘illat-nya’ seperti dalam praktik qiyas (analogi), atau dengan meneliti kebijaksanaan-kebijaksanaan syariat. Melakukan ijtihad seperti inilah yang dimaksud mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat itu.
2.      Hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal. Ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad. Rasulullah mengakui hal itu dengan mengatakan : “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufik atas diri utusa dari Rasulullah dengan apa yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya. Arti hadis tersebut secara lengkap sebagai berikut :
“Dari al-Haris bin Amr, dari sekelompok orang teman-teman Mu’az, sesungguhnya Rasulullah SAW. Mengutus Mu’az ke Yaman, maka beliau bertanya kepada Mu’az, atas dasar apa Anda memutuskan suatu persoalan, dia jawab, dasarnya adalah Kitab Allah, Nabi bertanya ; “kalau tidak anda temukan dalam kitab Allah?”, dia menjawab dengan dasar Sunnah Rasulullah SAW. Beliau bertanya lagi : “kalau tidak Anda temukan adalam Sunnah Rasulullah?’, Mu’az menjawab aku akan berijtihad dengan penalaranku, maka Nabi berkata: “Segala pujian bagi Allah yang telah memberi taufiq atas diri utusan Rasulullah SAW.” (HR.Tirmizi)
            Menurut Syafe’i (2010,107-108), bagi seseorang yang sudah memenuhi persayratan ijtihad, ada lima hukum yang bisa dikenakan pada orang tersebut berkenaan dengan ijutihad, yaitu :
1.      Orang tersebut dihukum fardhu’ain untuk berijtihad apabila ada permasalahan yang menimpa dirinya, dan harus mengamalkan hasil dari ijtihadnya dan tidak boleh taqlid kepada orang lain, karena hukum ijtihad itu sama dengan hukum Allah terhadap permasalahan yang ia yakini bahwa hal itu termasuk hukum Allah.
2.      Juga dihukumi fardhu’ain jika ditanyakan tentang suatu permasalahan yang belum ada hukumnya. Karena jika tidak segera dijawab, dikhawatirkan akan terjadi kesalahan dalam melaksanakan hukum tersebut atau habis waktunya dalam mengetahui kejadian tersebut.
3.      Dihukumi fardu kifayah, jika permasalahan yang diajukan kepadanya tidak dikhawatirkan akan habis waktunya, atau ada orang lain selain dirinya yang sama-sama memenuhi syarat sebagai seorang mujtahid.
4.      Dihukumi sunah apabila ber-ijtihad terhadap permasalahan yang baru, baik ditanya ataupun tidak.
5.      Dihukumi haram apabila berijtihad terhadap permasalahan yang sudah ditetapkan secara qathi’, sehingga hasil ijtihadnya itu bertentangan dengan dalil syara’.
C.    Kedudukan dan Fungsi Ijtihad
Masalah-masalah yang menjadi lapangan ijtihad adalah masalah-masalah yang bersifat Zhanny, yakni hal-hal yang belum jelas dalilnya baik di dalam Al-qur’an maupun Hadis. Adapun hal-hal yang bersifat Qat’iy, yakni hal-hal yang telah tegas dalilnya seperti wajibnya Shala, Zakat, Puasa dan lain-lain tidak ada ijtihad padanya(Djalil,2010 :186).
            Bila dilihat  dari segi akal, tidaklah dapat dikatakan bahwa tiap-tiap hasil ijtihad itu benar. Menurut akal, yang benar hanya satu yakni bila hasil ijtihadnya tepat. Apabila tidak tepat, berarti dosa, hal ini ditentag oleh Al-Anbary dan Al-Jahiz. Menurut beliau, tiap-tiap mujtahid adalah benar dan tidak ada dosa diatasnya(Djalil,2010 :186).
            Menurut Djalil (2010:186), tentang kedudukan hasl  ijtihad dalam masalah fiqh, terdapat dua golongan, yaitu :
a.       Golongan I
Berpendapat bahwa, tiap-tiap mujtahid adalah benar dengan alas an karena dalam masalah tersebut Allah tidak menentukan hukum tertentu sebelum diijtihadkan. Oleh karena itu, wajib mengikuti hasil ijtihadnya mujtahid. Adapun perselisihan hukum dalam satu masalah adalah karena berbedanya jangkauan mujtahid-mujtahid.
b.      Golongan II
Berpendapat bahwa yang benar itu hanya satu, yaitu hasil ijtihad yang cocok jangkauannya dengan hukum Allah, sedang bagi yang tidak cocok jangkauannya maka dikategorikan salah. Golngan ini beralasan bahwa Allah SWT telah meletakkan hukum tertentu pada satu masalah sebelum diijtihadkan, hanya saja terkadang mujtahid dapat menjangkaunya, sedang terkadang tidak. Demikian pendapat jumhur dan termasuk Asysyafi’I, berdalil dengan hadis, yang artinya : “Siapa yang berijtihad dan ternyata benar, maka mendapat dua pahala, dan (orang yang berijtihad) ternyata salah maka dapat satu pahala”(H.R.Buchari dan Muslim).
Imam Syafi’ira (150H-240H), penyusun pertama Ushul Fiqh dalam bukunya Ar-Risalah, ketika menggambarkan kesempurnaan Al-Qur’an menegaskan: “Maka tidak terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”. Menurutnya, hukum-hukum yang dikandung oleh Al-Qur’an yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, menurutnya, Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukm dari sumbernya itu. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Allah menguji ketatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah menguji ketaatan hamba-Nya dalm hal-hal yang diwajibkan lainnya(Effendi,2005:249).
Pernyataan Imam Syafi’I diatas, menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya sehingga tidak langsung dapat dipahami kecuali dengan ijtihad dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashalah mursalah. Hal yang disebut terakhir ini, yaitu pengembangan prinsip-prinsiphukum dalam Al-Qur’an dan Sunnah adalah penting, karena dengan itu ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahn yang tidak terbatas jumlahnya        (Effendi, 2005: 250).



D.    Objek Kajian Ijtihad
Para ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa ayat-ayat atau Hadis Rasulullah yang sudah tidak diragukan lagi kepastiannya (qath’i) dating dari Allah atau Rasul-Nya, seperti al-Qur’an dan Hadis Mutawatir (hadis yang diriwayatkan oleh sekelompok orang yang tidak mungkin berbohong), bukan lagi merupakan lapanga ijtihad dari segi periwatannya. Al-Qur’an yang beredar dikalangan umat Islam sekarang ini adalah pasti (gqth’i) keasliannya dating dari Allah dan begitu juga Hadis Mutawatir adalah pasti (qth’i) datang dari Rasulullah. Kepastian itu dapat diketahui karena baik al-Qur’an atau Hadis Mutawatir sampai kepada kita dengan riwayat yang mutawatir yang tidak ada kemungkinan adanya pemalsuan (Effendi, 2005: 250).
Selain dapat digunakan dalam semua ajaran atau aspek Islam, menurut penulis, ijtihad juga mempunyai obyek yang sangat luas. Objek ijtihad adalah setiap peristiwa, baik yang sudah ada ketentuan nashnya yang bersifat zanni, maupun belum ada nashnya sama sekali. Bagi peristiwa-peristiwa yang sudah ada ketentuan nashnya, cara ijtihad adalah dengan jalan memahami nash dan meneliti apakah nash bersifat khusus atau bersifat umum, dan kalau bersifat umum, apakah dibatas keumumannya atau tidak. Bagi peristiwa-peristiwa yang tidak ada nashnya, maka obyek ijtihad ialah meneliti hukumnya dengan memakai qiyas atau istihsan atau pemakain ‘urf atau dalil-dalil hukum lainnya (Shuhufi,2012:16).
Demikian pula halnya para ulama Ushul Fiqh telah sepakat bahwa ijtihad tidak lagi diperlukan pada ayat-ayat atau hadis yang menjelaskan hukum secara tegas dan pasti (qath’i). Wahbah az-Zuhaili menegaskan tidak dibenarkan berijtihad pada hukum-hukum yang sudah ada keterangannya secara tegas dan pasti dalam al-Qur’an da Synnah. Misalnya kewajiban melakukan shalat lima waktu, kewajiban berpuasa, zakat, haji, larangan berzina, membunuh dan kadar pembagian harta warisan yang telah ditegaskan dalam al-Qur’an dan Sunnah (Effendi, 2005: 250).
Menurut Effendi (2005,250-251), hal-hal yang menjadi objek kajian ijtihad, seperti dikemukakan oleh Abdul Wahhab Khallaf, adalah masalah-masalah yang tidak pasti (zhanni) baik dari segi datangnya dari Rasulullah, atau dari segi pengertiannya, yang dapat dapat dikategorikan menjadi tiga macam :
1.      Hadis Ahad, yaitu hadis yang diriwayatkan oleh orang seorang atau beberapa orang yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir. Hadis ahad dari segi kepastian datangnya dari Rasulullah hanya sampai ke tingkat dugaan kuat (zhanni) dalam arti tidak tertutup kemungkinan adanya pemalsuan meskipun sedikit . Dalam hal ini seorang mujtahid perlu melakukan ijtihad dengan cara meneliti kebenaran periwayatannya.
2.      Lafal-lafal atau redaksi al-Qur’an atau hadis yang menunjukkan pengertiannya secara tidak tegas (zhanni), sehingga ada kemungkinan pengertian lain selain yang cepat ditangkap ketika mendengar bunyi lafal atau redaksi iyu. Ayat-ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya ini menjadi objek ijtihad dalam upaya memahami maksudnya. Fungsi ijtihad disini adalah untuk mengetahui makna sebenarnya yang dimaksud oleh suatu teks. Dalam hal ini sering membawa kepada perbedaan pendapat ulama dalam menetapkan hukum.
3.      Masalah-masalah yang tidak ada teks atau hadis dan tidak pula ada ijma’ yang menjelaskan hukumnya. Dalam hal ini ijtihad memainkan peranannya yang amat penting dalam rangka mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam al-Qur’an dan sunnah. Fungsi ijtihad disini adalah untuk meneliti dan menemukan hukumnya lewat tujuan hukum, seperti qiyas, istihsan, maslahah mursalah, ‘urf, istishab, dan sad al-zari’ah. Disini terbuka kemungkinan luas untuk berbeda pendapat.
E.     Macam-Macam Ijtihad
Menurut Shiddieqy ( 1999,192-193), ijtihad ada beberapa macam, yaitu :
1.      Memberi segala daya kesanggupan untuk sampai kepada hukum yang dikehendaki dari nash yang dhanni tusubutnya, atau dhanni dalalahnya. Dalam hal ini, kita berijtihad dalam batas memahami nash dan mentarjihkan sebagian atas yang lain, seperti mengetahui sanad nash dan jalannya sampai kepada kita.
2.      Memberi segala daya kesungguhan untuk memperoleh sesuatu hukum yang tidak ada padanya nash qath’I, nash dhanni dan tidak ada pula ijma’. Dalam hal ini kita memperoleh hukum itu dengan berpegang kepada tanda-tanda dan wasilah-wasilah yang telah diletakkan syara’, seperti qiyas dan istihsan. Inilah yang disebut ijtihad bir ra’yi.
3.      Memberikan segala daya kesungguhan untuk memperoleh hukum-hukum syara’ dengan jalan menerapkan kaidah-kaidah kulliyah.. Ijtihad ini berlaku dalam bidang yang mungkin diambil dari kaidah dan nash-nash yang kulliyah, taka da padanya suatu nash tertentu, taka da pula ijma’ dan tidak pula ditetapkan dengan qiyas atau istihsan. Hal ini sebenarnya kembali kepada mendatangkan kemashlahatan dan menolak kemafsadatan, sesuai dengan kaidah-kaidah syara’.
Dikalangan ulama, terjadi perbedaan pendapat mengenai masalah ijtihad. Imam Syafi’I menyamakan ijtihad dengan qiyas, yakni dua nama, tetapi maksudnya satu. Dia tidak mengakui ra’yu yang didasarkan pada istihsan atau mashlahah mursalah. Sementara itu, para ulama lainnya memiliki pandangan lebih luas tentang ijtihad. Menurut mereka, ijtihad itu mencakup ra’yu, qiyas dan akal (Syafe’i,2010:103-104).
Pemahaman mereka tentang ra’yu sebagaimana yang diungkapkan oleh para sahabat, yaitu mengamalkan apa-apa yang dipandang maslahat oleh seorang mujtahid, atau setidak-tidaknya mendekati syari’at, tanpa melihat apakah hal itu ada dsarnya atau tidak(Syafe’i,2010:104).
Menurut Syafe’i (2010:104), berdasarkan pendapat diatas, Dr. Dawalibi membagi ijtihad menjadi tiga bagian, yang sebagiannya sesuai dengan pendapat Asy-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat, yaitu :
1.      Ijtihad Al-Batani, yaitu ijtihad untuk menjelaskan hukum-hukum syara’ dari nash.
2.      Ijtihad Al-Qiyasi, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah dengan menggunakan metode qiyas.
3.      Ijtihad Al-Istishlah, yaitu ijtihad terhadap permasalahan yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunah denga menggunakan ra’yu berdasarkan kaidah istishlah.
Menurut Syafe’i (2010:104), pembagian diatas masih belum sepurna, seperti yang diungkapka oleh Muhammad Taqiyu al-Hakim dengan mengemukakan beberapa alas an, diantaranya jami’ wal mani. Menurutnya, ijtihad dapat dibagi menjadi dua bagian saja, yaitu:
1.      Ijtihad al-aqli, yaitu ijtihad yang hujjahnya didasarkan pada akal, tidak menggunakan dalil syara’. Mujtahid dibebaskan untuk berpikir, dengan mengikuti kaidah-kaidah yang pasti. Misalnya, menjaga kemadaratan, hukuman itu jelek bila tidak disertai penjelasan,dan lain-lain.
2.      Ijtihad syar’i, yaitu ijtihad yang didasarkan pada syara’, termasuk dalam pembagian ini adalah ijma’, giyas, istihsan, istishlah, ‘urf, istishab, dan lain-lain.



F.     Syarat – Syarat Mujtahid dan Tingkatannya
1.      Syarat-syarat Mujtahid
Menurut Effendi (2005,251), Wahbah az-Zuhaili menyimpulkan ada delapan persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, yaitu :
a.       Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an baik secara bahasa maupun menurut istilah syariat. Tidak perlu menghafal di luar kepala dan tidak perlu menghafal seluruh al-Qur’an. Seorag mujtahid cukup mengetahui tempat-tempat dimana ayat-ayat hukum itu berada sehingga mudah baginya menemukan waktu yang dibutuhkan.
Menurut Imam al-Ghazali, jumlah ayat-ayat hukum yang perlu dikuasai itu sekitar 500 ayat. Pembatasan jumlah ayat-ayat hukum seperti dikemukakan al-Ghazali itu oleh sebagian ulama tidak disepakati . Al-Syaukani (w.1255H) umpamanya menyebutkan bahwa ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an bisa jadi berlipat ganda dari jumlah yang disebutka al-Ghazali itu. Orang yang mendalam pemahamannya bahkan mungkin meng-istinbatkan hukum dari ayat-ayat dalam bentuk kisah umat-umat terdahulu. Pembatasan jumlah ayat yang dikemukakan al-Ghazali itu, demikian komentar al-Syaukani, bisa dianggap benar bilamana yang dimaksud adalah ayat-ayat yang dengan langsung menunjukkan hukum, dalam arti belum termasuk ke dalamnya ayat-ayat yang tidak langsung.
Mengetahui makna ayat secara bahasa, yaitu dengan mengetahui makna-makna mufrad (tunggal) dari suatu lafal dan maknanya dalam susunan suatu redaksi. Pengetahuan seperti itu mungkin didapatkannya karena bakat atau karena tumbuh dikalangan masyarakat yang menguasai seluk-beluk bahasa Arab. Adapun pengetahuan tentang makna-makna ayat secara syara’  ialah dengan mengetahui berbagai segi penunjukan lafal terhadap hukum, seperti melalui mantuq (makna tersurat), lewat mafhum muwafaqah (makna tersirat), atau mafhum mukhalafah (makna kebalikan dari makna tersurat), serta mengetahui pembagian lafal dari segi cakupannya, seperti lafal umum dan lafal khusus, dan mengerti pula dengan tingkatan kejelasan dan ketidakjelasan dari penunjukan suatu lafal terhadap maknanya. Disamping itu, juga mengetahui tentang ‘illat atau alasan logis mengapa sesuatu diperintah dan mengapa sesuatu diperintah dan mengapa dilarang.
b.      Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’, seperti telah diuraikan pada syarat pertam. Seperti halnya al-Qur’an, maka dalam masalah hadis juga tidak mesti dihafal seluruh hadis yag berhubungan dengan hukum, tetapi cukup adanya pengetahuan dimana hadis-hadis hukum yang dapat di jangkau bilamana diperlukan. Menurut sebagian ulama misalnya Ibnu al-Arabi (w.543H), ahli tafsir dari kalangan  Malikiyah, seperti dinukil Wahbah az-Zuhaili, jumlah hadis-hadis hukumsekitar 3000 hadis, sedangkan menurut riwayat dari Ahmad bin Hanbal bahwa hadis-hadis hukum sekitar 1200 hadis. Namun, Wahbah az-Zuhaili tidak sependapat dengan dengan pembatasan jumlah hadis hukum itu. Menurutnya yang penting bagi seorang mujtahid mengerti dengan seluruh hadis-hadis hukum yang terdapat di dalam kitab-kitab hadis besar yang sudah diakui, seperti Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, dan lain-lain. Hadis-hadis hukum harus diketahui, disamping pengertiannya secara bahasa dan secara syara’, juga mengetahui kesahihannya.
c.       Mengethui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. Pengetahuan seperti ini diperlukan, agar seorang mujtahid tidak mengambil kesimpulan dari ayat atau hadis yang sudah dinyatakan tidak lagi berlaku.
d.      Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya. Pengetahuan ini diperlukan agar seorang mujtahid dalam ijtihadnya tidak menyalahi hukum yang telah disepakati para ulama.
e.       Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas, seperti syarat-syaratnya, rukun-rukunnya, tentang ‘illat hukum dan cara menemukan ‘illat itu dari ayat atau hadis, dan mengetahui kemaslahatan yang dikandung oleh suatu ayat hukum dan prinsip-prinsip umum syariat Islam.
f.       Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. Pengetahuan ini dibutuhkan, mengingat al-Qur’an dan Suunnah adalah berbahasa Arab. Seseorang tidak akan bisa meng-istinbatkan hukum dari dua sumber tersebut tanpa mengetahui seluk beluk bahasa Arab. Antara lain, misalnya, mengetahui mana lafal umum dan mana lafal khusus, mana lafal hakikat dan mana lafal majaz, lafal mutlaq dan muqayyad, dan berbagai cara penunjukan lafal terhadap maknanya. Penguasaan bahasa Arab tidak perlu menjadi ahli, tetapi cukup sekadarmampu memahami secara benar ungkapan-ungkapan dalam bahasa Arab dan kebiasaan orag Arab dalam pemakaiannya.
g.      Menguasai ilmu Ushul Fiqh, seperti tentang hukum dan macam-macamnya, tentang sumber-sumber hukum atau dalil-dalilnya, tentang kaidah-kaidah dan cara mengistinbatkan hukum dari sumber-sumber tersebut, dan tentang ijtihad. Pengetahuan tentang hal ini diperlukan karena Ushul Fiqh merupakan pedoman yang harus dipegang dalam melakukan ijtihad.
h.      Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum. Pengetahuan ini dibutuhkan karena untuk memahami suatu redaksi dan dalam penerapannya kepada berbagai peristiwa, ketepatannya sangat bergantung kepada pengetahuan tentang bidang ini. Hal ini disebabkan, penunjukan suatu lafal kepada maknanya mengandung berbagai kemungkinan, dan pengetahuan tentang maqasid al-Syari’ah memberi petunjuk untuk memilih pengertiannya yang mana yang layak diangkat dan difatwakan. Di samping itu, dan yang terpenting, denga penguasaan bidang ini prinsip-prinsip hukum dalam Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dapat dikembangkan, seperti dengan qiyas, istihsan, dan mashlahah mursalah.
2.      Tingkatan – Tingkatan Mujtahid
Menurut As-Suyuthi “Umat sekarang (pada zamannya) telah terjebak pada pemikiran bahwa mujtahid mutlaq itu sudah tidak ada lad\gi dan yang ada sekarang hanyalah mujtahid muqayyad”. Pernyataan seperti itu adalah salah besar dan tidak sesuai dengan pendapat para ulama. Mereka tidak mengetahui apa sebenarnya perbedaan antara mujtahid mutlaq, mujtahid muqayyad, dan mujtahid muntasib yang semuanya berbeda(Syafe’i,2010 :108).
Menurut Syafe’I (2010,108-109), tingkatan mujtahid menurut para ulama, diantaranya menurut Imam Nawawi Ibnu Shalah dan lain-lain, terbagi dalam lima tingkatan, yaitu :
a.       Mujtahid Mustaqi, adalah seorang mujtahid yang bebas menggunakan kaidah-kaidah yang ia buat sendiri, dia menyusun fiqihnya sendiri yang berbeda dengan madzhab yang ada. Menurut As-Suyuthi, tingkatan ini sudah tidak ada lagi.
b.      Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, adalah orang yang memiliki kriteria seperti mujtahid mustaqi namun dia tidak menciptakan sendiri kaidah-kaidahnya , tetapi mengikuti metode salah satu imam madzhab. Dia bisa disebut juga sebagai muthlaq muntasib, tidak mustaqil, tetapi juga tidak terikat, karena dia tidak  dikategorikan taqlid kepada imamnya melainkan mengikuti jalan yang ditempuh imamnya. Diantaraya Abu Yusuf dan Muhammad Jafar dari Hanafiyah.
c.       Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij adalah mujtahid yang terikat oleh madzhab imamnya. Memang dia diberi kebebasan dalam menentukan berbagai landasannya berdasarkan dalil, tetapi tidak boleh keluar dari kaidah-kaidah yang telah dipakai imamnya. Diantaranya Hasan bin Ziyad dari golongan Hanafi, Ibnu Qayyim dan Asyhab dari golongan Maliki, serta Al-Buwaiti dan Majani dari golongan Syafi’i.
d.      Mujtahid tarjih,  adalah mujtahid yang belum sampai derajatnya pada mujtahid takhrij, tetapi menurut Imam Nawawi dalam kitab Majmu’, mujtahid ini sangat faqih, hafal kaidah-kaidah imamnya, mengetahui dalil-dalilnya, cara memutuskan hukumnya, dia juga mengetahui bagaimana cara mencari dalil yang lebih kuat, dan lain-lain. Tetapi kalau dibandingkan dengan tingkatan mujtahid di atas, dalam mengetahui kaidah-kaidah imamnya, ia tergolong masih kurang. Diantaranya, Al-Qaduri dan pengarang kitab Al-Hidayah dalam madzhab Hanafi.
e.       Mujtahid fatwa, adalah orang yang hapal dan paham terhadap kaidah-kaidah imam madzhab, mampu menguasai permasalahan yang sudah jelas atau yang sulit, namun dia masih lemah dalam menetapka suatu putusan berdasarkan dalil serta lemah dalam menetapkan qiyas. Menurut Imam Nawawi, “Tingkatan ini dalam fatwanya sangat bergantung kepada fatwa-fatwa yang telah disusun oleh imam madzhab, serta berbagai cabang yang ada dalam madzhab tersebut”.















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
1.      Ijtihad adalah pengerahan segala daya nalar secara optimal.Usaha ijtihad dilakukan oleh orang yang telah memiliki kapasitas keilmuan yang mumpuni.Hasil dari kreativitas ijtihad adalah dugaan yang kuat tentang hukum syara yang bersifat praksis.Kreatifitas ijtihad dilakukan dengan cara istinbath.
2.      Dasar hukum ijtihad diantaranya, yaitu Q.S An-Nisa ayat 59 yag menjelaskan tentang mengembalikan sesuatu kepada Allah dan Rasul-Nya seperti yang dimaksud oleh ayat tersebut yang dapat dikatakan sebagai ijtihad dan hadis yang diriwayatkan dari Mu’az bin Jabal mengenai ketika ia akan diutus ke Yaman, menjawab pertanyaan rasulullah dengan apa ia memutuskan hukum, ia menjelaskan secara berurutan, yaitu dengan Al-Qur’an, kemudian dengan sunnah Rasulullah, dan kemudian dengan melakukan ijtihad.
3.      Pernyataan Imam Syafi’I mengenai untuk menjawab hukum-hukum Al-Qur’an dapat digali dengan ijtihad menggambarkan betapa pentingnya kedudukan ijtihad disamping AL-Qur’an dan Sunnah Rasulullah. Ijtihad berfungsi baik untuk menguji kebenaran riwayat hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawatir seperti hadis ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis yang tidak tegas pengertiannya dan berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
4.      Macam-macam Ijtihad, antara lain Ijtihad Al-Batani, Ijtihad Al-Qiyasi, Ijtihad Al-Istishlah, Ijtihad al-aqli dan Ijtihad syar’i.
5.      Syarat-syarat Mujtahid, yaitu : (1)Mengerti dengan makna-makna yang dikandung oleh ayat-ayat hukum dalam Al-Qur’an. (2)Mengetahui tentag hadis-hadis hukum baik secara bahasa maupun dalam pemakaian syara’. (3)Mengetahui tentang mana ayat atau hadis yang telah dimansukh (telah dinyatakan tidak berlaku lagi oleh Allah atau Rasul-Nya), dan mana ayat atau hadis yang me-nasakh atau sebagai penggantinya. (4)Mempunyai pengetahuan tentang masalah-masalah yang sudah terjadi ijma’ tentang hukumnya dan mengetahui tempat-tempatnya.(5) Mengetahui tentang seluk-beluk qiyas. (6) Menguasai bahasa Arab serta ilmu-ilmu bantu yang berhubungan dengannya. (7) Menguasai ilmu Ushul Fiqh. (8) Mampu menangkap tujuan syariat dalam merumuskan suatu hukum.
6.      Tingkatan-tingkatan Mujtahid, yaitu Mujtahid Mustaqi, Mujtahid mutlaq ghairu mustaqil, Mujtahid muqayyad atau mujtahid takhrij, Mujtahid tarjih, Mujtahid fatwa.
B.     Saran





[1]Dr. Misbahuddin, S.Ag, M.Ag, Ushul Fiqh II, Alauddin University Press  (Misbahuddin,2014:130). Ade Iwan Setiawan, Penghijauan dengan Tanaman Potensial, Penebar Swadaya, Depok,  2002, hlm. 14.

Makalah Takhrij Hadist

MAKALAH
TAKHRIJ AL-HADIST
Description: C:\Users\HP MINI\Downloads\uin.png








Oleh:





Kelompok 11
SITI AMINI HARIS (20700114045)
RAMLAH (20700114
ST. SYARIFAH (20700114042)
HARTINA P (20700114




JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR

2015


KATA PENGANTAR
Description: http://t2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcTXSpM92qc9Zqdou3Bd4fXd5QNlHJnPtyhas85qQi29Uk9kKv-3Kw
           
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah yang bertema “TAKHRIJ AL-HADIST ini. Tak lupa shalawat serta salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang kita nantikan syafaat nya di hari kiamat nanti.
Penulis yang merupakan mahasiswa Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UIN-AM) yang ditugaskan untuk membuat makalah dengan tema “TAKHRIJ AL-HADIST. Tugas makalah ini merupakan salah satu tugas dari mata kuliah wajib untuk setiap mahasiswa dalam ruang lingkup Jurusan Pendidikan Matematika kelas 3-4, Fakultas Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar.
Makalah ini membahas mengenai pengertian takhrij al-hadist, urgensi dari kegiatan takhrij al-Hadist, pengenalan kitab-kitab terkait dan penggunaannya, dan praktik takhrij al-Hadist.
Makalah ini tidak serta merta dapat terselesaikan tanpa adanya bantuan dari beberapa pihak. Oleh karena ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan namanya satu per satu yang telah ikut andil dalam proses penyelesaian makalah ini baik langsung maupun tidak langsung.
            Penulis menyadari bahwa sekeras apapun usaha yang dilakukan,       ketidaksempurnaan pasti mengiringinya, karena kesempurnaan itu hanya milik Allah SWT semata. Begitupun dalam penulisan makalah ini yang masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sehingga dalam penulisan berikutnya dapat lebih baik dari makalah ini. Akhir kata, semoga segala usaha kita dapat bernilai ibadah dan mendapat ridho di sisi-Nya, Amin ya Rabb…
Makassar, Juni 2015
                                                                                               
Penyusun
















DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................       i
DAFTAR ISI......................................................................................................     iii
BAB I PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang........................................................................................      1           
B.     Rumusan Masalah...................................................................................      2
C.     Tujuan Penulisan.....................................................................................      2
BAB II PEMBAHASAN
A.    Pengertian Takhrij Al-Hadist..................................................................      3
B.     Urgensi dari Kegiatan Takhrij Al-Hadist................................................      6
C.     Pengenalan Kitab-Kitab Terkait dan Penggunaannya............................    10
D.    Praktik Takhrij Al-Hadist........................................................................    13
BAB III PENUTUP
A.    Kesimpulan.......................................................................................    20
Daftar Pustaka....................................................................................................    22
 BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Langkah awal dalam melakukan kegiatan penelitian hadis adalah kegiatan Takhrij al-Hadis (selanjutnya cukup disebut takhrij). Kegiatan ini sangat penting, karena tanpa kegiatan ini terlebih dahulu maka akan sulit diketahui asal-usul riwayat hadis yang akan diteliti. Kegiatan penelitian hadis, baik dari segi sanad maupun dari segi matan sangat penting. Upaya penelitian terhadap hadis-hadis yang tertuang dalam beberapa kitab hadis merupaka sebuah keharusan. Karena kitab-kitab hadis yang disusun oleh para mukharrij-nya masing-masing memuat riwayat hadis baik sanad-nya maupun mata-nya. Artinya, para mukharrij bersikap terbuka dengan mempersilahkan para ahli yang berminat untuk meneliti semua hadis yag terhimpun dalam kitab hadis yang mereka susun.
            Kegiatan penelitian hadis berlandaskan pada signifikansi hadis sebagai sumber otoritatif kedua setelah al-Qur’an menempati posisi yang sangat urgen. Otoritas Nabi Muhammad saw. Di luar al-Qur’an tak terbantahkan dan mendapat justifikasi dari wahyu. Secara tekstual, beliau merupakan aplikas al-Qur’an yang pragmatis. Dalam beberapa literature dikatakan bahwa hadis berasal dari sumber yang sama. Perbedaan keduanya hanya pada bentuk dan tingkat ontensitasnya, bukan pada substansinya. Maka dari itu, wahyu dikategorikan sebagai wahyu ghairu mathlu’.
            Hadis Nabi, baik dalam tataran ucapan , perbuatan dan taqrir Nabi, telah tertuang dalam berbagai kitab dan telah disebarluaskan dikalangan masyarakat luas. Dampak dari hal tersebut adalah munculnya berbagai bentuk pemahaman dari masyarakat tentang kandungan sebuah hadis. Pemahaman tersebut terlepas dari pengetahuan tentang kualitas sanad dan matan hadis yang bersangkutan.
Brangkat dari tema kajian dan uraian di atas, maka persoalan yang akan dikaji pada makalah ini yaitu pengertian takhrij hadist,  urgensi dari kegiatan takhrij al-Hadist, pengenalan kitab-kitab terkait dan penggunaannya, dan praktik takhrij al-Hadist.
B.     Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah pada makalah ini, yaitu :
1.      Bagaimana pengertian takhrij al-Hadist?
2.      Bagaiamana urgensi dari kegiatan takhrij al-Hadist?
3.      Bagaimana pengenalan kitab-kitab terkait penggunaannya?
4.      Bagaimana praktik takhrij al-Hadist?
C.    Tujuan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu :
1.      Untuk mengetahui pengertian takhrij al-Hadist.
2.      Untuk mengetahui urgensi dari kegiatan takhrij al-Hadist.
3.      Untuk mengetahui pengenalan kitab-kitab terkait penggunaannya.
4.      Untuk mengetahui praktik takhrij al-Hadist.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Takhrij Hadist
Dalam melakukan penelitian hadist, langkah awal yang harus di lakukan seorang peneliti adalah melakukan kegiatan takhrij al-hadist. Kata takhrij secara etimologi berarti:   1) Al-istimbat (hal mengeluarkan); 2)Al-Tadrib (hal melatih atau pembiasaan); dan 3)Al-Tawjih (hal menghadapkan). Apabila dikaitkan dengan kata al-hadist, tentunya dapat dimaknakan mengeluarkan hadist. Artinya, mengutip hadist dari kitab-kitab hadist atau membacakan hadist tertentu dari kitab hadist tertentu kepada seseorang.
Pengertian takhrij secara etimologi dan yang biasa dipakai oleh ulama hadist cukup bervariasi diantaranya:
1.      Mengemukakan hadist kepada orang banyak dengan menyebutkan para periwayatnya dalam sanad yang telah menyampaikan hadist itu dengan metode periwayatan yang mereka tempuh
2.      Ulama hadist mengemukakan berbagai hadist yang telah dikemukakan oleh para guru hadist, atau berbagai kitab, atau lainnya yang susunannya dikemukan berdasarkan riwayatnya sendiri atau para gurunya atau temannya atau orang lain, dengan menerangkan siapa periwayatnya dari para penyusun kitab atau karya tulis yang dijadikan sumber pengambilan.
3.      Menunjukkan asal usul hadist dan mengemukakan sumber pengambilannya dari berbagai kitab hadist yang disusun oleh para mekharrijnya langsung (yakni para periwayat yang juga sebagai penghimpun bagi hadist yang mereka riwayatkan)
4.      Mengemukakan hadist berdasarkan sumbernya atau berbagai sumbernya, yakni kitab-kitab hadist yang didalamnya disertakan metode periwayatannya dan sanadnya masing-masing, serta diterangkan keadaan para periwayatnya dan kualitas hadistnya
5.      Menentukan atau mengemukakan letak asal hadist pada sumbernya yang asli, yakni berbagai kitab, yang didalamnya dikemukakan hadist itu secara lengkap dengan sanadnya masing-masing, kemudian untuk kepentingan penelitia, dijelaskan kualitas hadist yang bersangkutan
Pengertian yang dikemukakan pada poin pertama merupakan salah satu kegiatan yang telah dilakaukan oleh para periwayat hadist yang menghimpun hadist ke dalam kitab hadist yang mereka susun masing-masing, misalnya imam Al-Bukhari dengan kitab sahih-nya, imam Muslim dengan sahihnya, dan Abu Dawud dengan kitab sunan-nya.
Pengertian Al-Takhrij yang dikemukakan pada butir kedua telah dilakukan oleh banyak ulama hadist, misalnya oleh imam Al-Baihaqi, yang telah banyak “mengambil” hadist dari kitab al- sunan yang disusun oleh Abu al-Hasan al-Basri al-Saffar, lalu al-Baihaqi mengemukakan sanadnya sendiri.
Pengertian al-Takhrij pada poin ketiga banyak dijumpai pada kitab-kitab himpunan hadist, misalnya Bulughul Mar’am karya Ibnu Hajar al-Asqalani. Dalam melakukan pengutipan hadist pada karya tulis ilmiah, mestinya diikuti pengertian al-Takhrij pada butir ketiga tersebut, dengan dilengkapi data kitab yang dijadikan sumber. Dengan demikian, hadist yang dikutip dengan tidak hanya matannya saja, tetapi minimal juga nama mukharrijnya dan nama periwayat pertama (sahabat nabi) yang meriwayatkan hadist yang bersangkutan.
Pengertian al-Takhrij yang dikemukakan pada poin keempat digunakan oleh ulama hadist untuk menjelaskan berbagai hadist yang termuat dikitab tertentu, misalnya kitab Inya Ultim al-Din karya imam al-Ghazali, yang dalam penjelasannya itu dikemukakan sumber pengambilan tiap-tiap hadist dan kualitasnya masing-masing.
Adapun pengertian al-Takhrij yang digunakan untuk maksud kegiatan penelitian hadist lebih lanjut dan dalam pembahasan makalah ini ialah pengertian yang dikemukakan pada butir kelima. Berangkat dari pengertian itu, maka yang dimaksud dengan takhrij al-hadist dalam hal ini adalah penelusuran atau pencarian hadist pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadist yang bersangkutan yang didalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadist yang bersangkutan. Berbicara tentang takhrij sebagaimana beberapa defenisi diatas tentunya sangat erat kaitannya dengan penelitian hadist baik penelitian awal maupun penelitian lanjutan. Penelitian hadist pada masa awal telah dilakukan oleh para ulama salaf yang kemudian hasilnya telah dikodifikasikan dalam berbagai buku hadist. Penyebutan sekian banyak hadist yang disertai sanadnya dan keterangan kualitasnya adalah merupakan hasil penelitian ulama salaf. Kemudian ulama khalaf berkesempatan pula untuk mencari hasil yang belum dikoidifikasikan sebagai pelengkap atau takhrij atau meneliti kembali (back research) hasil takhrij mereka atau bagian-bagian yang belum selesai dianalisis mereka.
B.     Urgensi dari Kegiatan Takhrij al-Hadist
Kegiatan takhrij al-Hadist sangat urgen bagi seorang peneliti hadist asal-usul riwayat hadist yang akan diteliti, berbagai riwayat yang telah meriwayatkan hadist itu dan ada tidaknya korroborasi (sahid atau mutabih) dalam sanad bagi hadist yang ditelitinya hanya dapat diketahui melalui kegiatan takhrij akl-hadist. Dengan demikian, minimal ada tiga hal yang menyebabkan pentingnya kegiatan takhrij al-hadist dalam pelaksanaan kegiatan hadist yaitu:
1.      Untuk mengetahui asal-usul hadist yang akan diteliti
Kegiatan takhrij perlu dilakukan terlebih dahulu, untuk mengetahui bagaimana asal-usul hadist yang akan diteliti itu. Kualitas dan status suatu hadist akan sangat sulit diteliti jika tidak diketahui asal usulnya lebih dahulu. Demikian pula susunan sanad dan matan menurut sumber pengambilannya. Penelitian sebuah hadist akan sulit terlaksana dengan akurat dan cermat, tanpa diketahui susunan sanad dan matannya secara benar
2.      Untuk mengetahui seluruh riwayat hadist yang akan diteliti.
Kegiatan takhrij perlu dilakukan untuk mengetahui seluruh riwayat hadist yang akan diteliti. Bisa jadi hadist yang akan diteliti memiliki lebih dari satu sanad. Dari sanad yang lebih dari satu itu mungkin salah satunya berkualitas dhaif, sedangkan yang lainnya berkualitas sahih. Seluruh riwayat hadist yang akan diteliti, harus terlebih dahulu diketahui, agar sanad yang berkualitas dhaif dan berkualitas sahih dapat ditentukan.
3.      Untuk mengetahui ada tidaknya sahid dan mutabi
Salah satu bagian dari kegiatan penelitian hadist adalah menentukan ada tidaknya sahid atau mutabi. Kedua hal ini bertujuan untuk mengetahui adanya periwayat lain yang sanadnya mendukung pada sanad yang diteliti. Dukungan (corroboration) itu dapat menpengaruhi kualitas sanad yang menjadi objek penelitian. Sebuah sanad yang lemah pada tingkat sahabat, dapat menjadi kuat bila ada dukungan pada sanad yang lain. Dalam penelitian sebuah sahabat, sahid yang didukung oleh sanad yang kuat dapat memperkuat sanad yang sedang diteliti. Demikian pula mutabi yang memiliki sanad yang kuat, maka sanad yang sedang diteliti mungkin dapat ditingkatkan kekuatannya oleh mutabu tersebut. Untuk mengetahui, apakah suatu sanad memiliki sahid atau mutabi maka seluruh sanad hadist itu harus dikemukakan. Itu berarti, takhrij al-hadist harus dilakukan terlebih dahulu. Tanpa kegiatan ini, tidak dapat diketahui secara pasti seluruh sanad untuk hadist yang sedang diteliti.
            Sedangkan manfaat dari takhrij hadist diantaranya adalah:
1.      Mengetahui referensi beberapa buku hadist. Dengan takhrij seseorang dapat mengetahui siapa perawi suatu hadist yang diteliti dan didalam kitab hadist apa saja hadist tersebut didapatkan.
2.      Menghimpun sejumlah sanad hadist. Dengan takhrij seseorang dapat menemukan sebuah hadist yang akan diteliti disebuah atau beberapa induk hadist. Misalnya terkadang dibeberapa tempat didalam kitab al-Bukhari saja, atau didalam kitab-kitab lain. Dengan demikian ia akan menghimpun sejumlah sanad.
3.      Mengetahui keadaan sanad yang bersambung (muttashil) dan yang terputus (munqathi’) dan mengetahui kadar kemampuan perawi dalam mengingat hadist serta kejujuran dalam pewayatan.
4.      Mengetahui status suatu hadist. Terkadang ditemukan sanad atau suatu hadist dhaif, tetapi melalui sanad lain hukumnya sahih.
5.      Meningkatkan suatu hadist yang dhaif menjadi hasan li ghayirihi karena adanya dukungan sanad lain yang seimbang atau lebih tinggi kualiutasnya.
6.      Mengetahui bagaimana para imam hadist menilai suatu khualitas hadist dan bagaimana kritikan yang di sampaikan.
7.      Seseorang yang melakukan takhrij dapat menghimpun beberapa sanad dan matan suatu hadist.
8.      Takhrij dapat menghilangkan kemungkinan terjadinya pencampuran riwayat
9.      Takhrij dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya.hal ini karena kemungkinan saja ada perawi-perawi yang mempunyai kesamaan gelar. Dengan adanya sanad yang lain maka nama perawi itu akan menjadi jelas.
10.  Tkhrij dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
11.  Takhrij dapat memperjelas arti  kalimat yang asing yang terdapat dalam satu sanad.
12.  Takhrij dapat menghilangkan suatu “syadz” (kesensirian riwayat yang mengalahi riwayat tsiqah) yang terdapat dalam suatu hadist melalui perbandingan suatu riwayat.
13.  Takhrij dapat membedakan hadist yang muadraj (yang mengalami penyusupan sesuatu) dari yang lainnya.
14.  Takhrij dapat mengungkapkan keragu-raguan dan kekeliruan yang dialami oleh seorang perawi.
15.  Takhrij dapat dibedakan proses periwayatan yang dilakukan dengan ma’na (pengertian) saja.
16.  Takhrij dapat mengungkapkan hal-hal yang terlupakan atau diringkas oleh seorang perawi.
17.  Takhrij dapat membedakan proses tempat dan aktu timbulnya suatu hadist.
18.  Takhrij dapat menjelaskan sebab-sebab timbulnya hadist. Diantara hadist-hadist ada yang timbul karena perilaku seseorang atau kelompok orang melalui perbandingan sanad-sanad yang ada maka “asbab al-wurud” dalam hadish tersebut akan dapat diketahui dengan jelas
19.  Takhrij dapat mengungkapkan kemungkinan terjadinya percetakan dengan melalui perbandingan –perbandingan sanad yang ada.
C.    Pengenalan Kitab-Kitab Terkait dan Penggunaannya
Ketika mereka takhrij hadist tidak memerlukan kitab-kitab yang berkaitan dengan takhrij hadis ini. adapun  kitab-kitab tersebut antara lain sebagai berikut:
1.      Hidayatul bari ila tartibi ahadisil bukhori
Penyusun kitab ini adalah abdul rahman ambar al-misri at-tahtawi.kitab ini disusun khusus untuk mencari hadist-hadist yang termuat dalam sokhikh bukhori.lafadz hadist disusun menurut aturan huruf abjad arab, namun hadist-hadist yang dikemukakan secara berulang dalam sokhikh bukhori tidak dimuat secara berulang dalam kamus diatas. Dengan demikian ,perbadaan lafalz dalam matan hadist riwayat al-bukhori tidak dapat diketahui melalui kamus tersebut.
2.      Mu’jam al-fadzi wala siyyama al-garibu minha atau fahras litartibi ahadisti muslim
Kitab tersebut merupakan salah satu jiz ke-5 dari kitab shohih mislim yang disunting oleh muhammad abdul baqi. Juz ke-5 ini merupakan kamus terhadap juz ke 1-4 yang berisi:
a.       Daftar urutan judul kitab, nomor hadist dan juz yang memuatnya.
b.      Daftar nama para sahabat nabi yang meriyawatkan hadist yang termuat dalam shohih muslim.
c.       Daftar awal matan hadist dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta menerangkan nomor-nomor hadist yang diriwayatkan oleh bukhori bila kebetulan hadist tersebut juga diriwayatkan oleh bukhori.
3.      Miftahus shohihain.
Kitab ini disusun oleh muhammad syarif bin mustofa al-tauqiyah.kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadist –hadist yang diriwayatkan oleh muslim, akan tetapi hadist-hadist yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadist-hadist yang berupa sabda saja. Hadist tersebut disusun menurut abjad dari awal lafadz matan hadist.
4.      Al-buqhyatu fi tarfibi ahadist al-hiyah
Kitab ini disusun oleh sayyid abdul aziz bin al-sayyid muhammad bin sayyid sidding al-qomari.kitab hadist tersebut memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab yang disusun oleh abu nuaim al-asbuni (W.340 H) yang berjudul hilyatul wathbaqoful auliyai asfiyani.sejenis dengan kitab tersebut adalah kitab miftahut tartibi li ahadisti tarikhil khotib yang disusun oleh sayyid ahmad bin sayyid muhammad bin sayyid as-shidding al-qomari yang memuat dan menerangkan hadist-hadist yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh abu bakar bin ali bin subit bin ahmad al-baqhdadi yang dikenal dengan al-Khotib al-Bugdadiw (W. 436 H). Kitabnya diberi judul Tarikhu Baghdadi yang terdiri dari 4 jilid.


5.      Al-Jumius Shogir
Kitab ini disusun oleh imam Jalaluddin Abdurrahman Assayuthi (W 91 H) kitab kamus ini memuat hadist-hadist yang terhimpun dalam kitab himpunan hadist karya imam Assayuthi juga, yakni al-Jam’u aljawami hadist yang dimuat dalam jami’us Shogir disusun berdasarkan huruf abjad dari awal lafadz matan hadist, sebagian dari hadist-hadist itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada juga yang ditulis sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup, kitab hadist disebut juga menyebutkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadist yang bersangkutan lengkap dengan nama mukharrijnya (periwayat hadist yang menghimpun hadist dalam kitabnya), selain itu hampir setiap hadist yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penelitian yang dilakukan oleh imam Assayuthi dan disetujui olehnya.
6.      Al-Mu’jam Almufahras li alfadz al-hadist
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Diantara anggota tim yang paling aktif dalam proses penyusunan ini adalah Dr. Arnold John Wensink (W 939 M), seorang profesor bahasa semit termasuk bahasa arab di universitas Leidm, Belanda. Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadist yang berdasarkan petunjuk lafadz matan hadist, berbagai lafadz yang disajikan tidak dibatasi hanya lafadz-lafadz yang berada ditengah dan bagian-bagian lain dari matan hadist. Dengan demikian, kitab Mu’jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadist selama sebagian lafadz dari matan hadist yang dicarinya itu telah diketahuinya. Kitab Mu’jam itu terdiri dari tujuh juz dan dapat digunakan untuk mencari hadist-hadist yang terdapat didalam sembilam kitab hadist; sahih al-Bukhari, sahih Muslim, sunan Abu Daud, Suann at-Tarmidzi, sunan Annasa’I, Sunan Ibnu Majah, Sunan Addarimi, Muwatha’ malik dan musnad imam Ahmad.
D.    Praktik Takhrij Al-Hadist
Untuk mengetahui sejarah jelah sebuah hadist beserta sumber-sumbernya, ada beberapa metode takhrij yang dapat dipergunakan oleh mereka yang akan menelusurinya. Metode-metode ini diupayakan oleh para ulama dengan maksud mempermudah mencari hadist Nabi. Para ulama telah banyak mengkodifikasi hadist-hadist dengan mengaturnya dalam susunan yang berbeda satu dengan yang lainnya, sekalipun semuanya menyebutkan ahli hadist yang meriwayatkannya. Perbedaan cara-cara mengumpulkan inilah yang akhirnya menimbulkan ilmu takhrij.
1.      Takhrij Menurut Lafal Pertama Hadits
Metode ini dipakai berdasarkan lafal pertama matan hadist. Dengan kata lain, metode ini mengkodifikasi hadist-hadist yang lafal pertamanya sesuai dengan urutan huruf-huruf hijaiyah. Bagi yang menggunakan metode ini, suatu keharusan baginya untuk mengetahui dengan pasti lafal-lafal pertama hadist-hadist yang akan dicarinya. Kemudian ia melihat huruf pertamanya melalui kitab-kitab takhrij yang disusun dengan metode ini, demikian pula dengan huruf kedua dan seterusnya.
Kelebihan dari metode ini adalah memungkinkan bagi penggunanya dengan cepat menemukan hadist yang dimaksud. Sedangkan kekurangannya adalah apabila terdapat kelainan lafal pertama pada sebuah hadist akan berakibat sulit menemukan hadist.
Jenis kitab yang menggunakan metode ini dibagi dalam tiga jenis: 1) Al-Masyhurat ‘ala alsinat al-nas, seperti: a) Al-Maqasid al-Hasanah fi Bayanin Katsirin al-Hadist al-Mashurahala Alsinah al-Nas karya Muhammad bin Abdurrahman al-Skhawi (902 H); b) Kasyt al-Khafa wa Muzii al-Ilbas ‘amma Isythara min al-hadis al-Alsinah al-Nas karya ismail bin Muhammad al-Ajluuni (1162 H). 2) Al-Kitab allati ruttibat al-hadist fiha ala tartib huruf al-Mu’jam, jenis kitab ini seperti al-Jami’ al-Shagi min hadis al-Basyir al-Nazir karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi (911 H). 3) Al-Mafatih atau al-Fahrasat, seperti Miftah Al- Sahihain karya al-Taukidi.
Dalam kegiatan takhrij metode yang pertama, kitab yang paling banyak digunakan oleh para penelitihadist adalah al-jami’ al-Shagir min hadist al-Basyir al-Nazir, karya Jalaluddin Abdurrahman bin Abi Bakar al-Suyuthi  (911 H). sistematika penulisan atau penenmpatan hadist-hadist dalam kitab al-Jami’ al-Shagir min Hadis diatur menurut urutan-urutan huruf hijaiyah agar mencarinya lebih mudah. Dimulai dengan hadist yang huruf pertamanya Alif, Ba’, ta dan seterusnya. Hadist-hadist yang dimulai dengan hamzah atau lainnya begitu pula diurutkan dengan huruf keduanya sesuai urutan huruf-huruf hijaiyah. Seperti hadist-hadist yang dimulai dengan hrurf ba’, huruf berikutnya adalah ba’ dengan alif, ba’ dengan ba’, ba’ dengan ta’ dan seterusnya.
Penyusunan kitab ini tidak menuliskan secara lengkap dari keterangan tentang kualitas sebuah hadist. Ia mempersingkatnya dengan lambang atau kode tertentu.
Selain itu, penyusunan kitab ini juga menulis secara ringkas nama-nama kitab terdapatnya hadist yang disusun. Kode-kode yang dipakai oleh penyusunan kitab ini tercantum dalam muqaddimah-nya.
Dalam men-Takhrij suatu hadis melalui kitab ini semestinya seorang pemakai jasa kamus hadis ini harus mengetahui terlebih dahulu lafal pertama matan hadist tersebut dengan pasti lalu mencarinya dalam babnya. Hadis yang dimulai dengan huruf ba’ dicari pada bab huruf ba’, kemudian mencari huruf keduanya secara berurutan dan seterusnya dengan cara yang sama.
2.      Takhrij Melalui Kata-kata dalam Matan Hadis
Metode ini tergantung kepada kata-kata yang terdapat dalam matan hadist, baik itu berupa isim atau fiil. Huruf-huruf tidak digunakan dalam metode ini, hadis-hadis yang dicantumkan hanyalah bagian hadis. Para penyusun kitab metode ini menitikberatkan peletakan hadis-hadisnya menurut lafal-lafal yang asing. Semakin asing (Ghasib) suatu kata, maka pencarian hadist akan semakin mudah dan efisien.
Keistimewaan metode ini adalah, pertama, mempercepat pencarian hadist; kedua, para penyusun kitab-kitab takhrij metode ini membatasi hadist-hadist dalam beberapa kitab-kitab induk dengan menyebutkan nama kitab, juz, bab dan halaman; ketiga, memungkinkan pencarian hadis melalui kata-kata apa saja yang terdapat dalam matan hadist.
Sedangkan kekurangan metode ini adalah pertama, keharusan bagi penggunanya untuk menguasai bahasa arab beserta perangkat ilmunya yang memadai. Karena metode ini menuntut untuk mengembalikan seperti kata-kata kuncinya kepada kata dasarnya; kedua, metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat; dan ketiga, terkadang suatu hadist tidak dapat didapatkan dengan satu kata sehingga orang yang mencarinya harus menggunakan kata-kata yang lain.
Kitab yang terkenal untuk metode ini adalah al-Mu’jam al-Mufahras Li Alfaz al-Hadis al-Nabawi yang disusun oleh seorang orientalis A.J. Wensink yang merujuk pada Sembilan kitab induk hadis ( al-Kutub al-Tis’ah) yaitu: Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Tarmudzi, Sunan Abu Daud, Sunan al-Nasa’I, Sunan Ibnu Majah, sunan al-Darimy, Muwaththa’ Imam MAlik, dan Musnad Imam Ahmad.
3.      Takhrij melalui Perawi Hadis Pertama
Metode ini digunakan ketika nama sahabat disebut pada sebuah hadis yang hendak di takhrij. Apabila nama sahabat tidak disebut pada hadist dan tidak mungkin mengetahuinya, metode ini tidak dapat digunakan. Jika nama sahabat disebut pada hadist atau kita mengetahuinya dengan jalan tertentu, maka kita dapat menggunakan metode ini. 
Kelebihan dari metode ini adalah, pertama, metode ini memperpendek masa proses takhrij dengan diperkenalkannya; kedua, memberikan kesempatan untuk melakukan per-sanad. Sedangkan kekurangannya adalah, pertama, metode ini tidak dapat digunakan dengan baik tanpa mengetahui terlebih dahulu perawi pertama hadis yang kita maksud; kedua, adanya kesulitan mencari hadist diantara yang tertera dibawah setiap perawi pertamanya. Hal ini karena penyusunan hadis didasarkan perawi-perawinya yang menyulitkan.
Untuk metode ini diperlukan tiga jenis kitab yaitu kitab Musnad, kitab Mu’jam dan kitab Athraf. Metode ini jarang dipakai oleh para peneliti hadist dalam kegiatan takhrij.
4.      Takhrij Menurut Tema Hadist
Metode takhrij ini bersandar pada pengenalan tema hadist, setelah kita menentukan hadis yang akan kita takhrij, maka langkah selanjutnya ialah menyimpulkan tema hadis tersebut. Dasar dari metode ini ialah pengetahuan tema hadis. Ketidaktahuan tema hadis akan menyulitkan proses takhrij.
Olehnya itu, metode ini hanya dapat digunakan oleh orang yang mempunyai ketajaman ilmu (dzaug Ilm) yang memungkinkan menentukan atau mendapatkan topic hadist, atau menentukan letaknya jika hadist tersebut mempunyai kandungan yang lebih luas dan banyak bergelut dan mengamati kitab-kitab hadist.
Keistimewaan dari metode ini adalah: pertama, metode ini tidak membutuhkan pengetahuan di luar hadis. Yang dibutuhkan dalam metode ini adalah pengetahuan akan kandungan hadist; kedua, metode ini mendidik ketajaman pemahaman hadis pada diri peneliti; ketiga, metode ini memperkenalkan kepada peneliti maksud hadis yang sedang dicarinya hadis-hadis yang senada dengannya. Sedangkan kekurangan dari metode ini adalah; pertama terkadang kandungan hadis sulit disimpulkan oleh seorang peneliti hingga tidak dapat menentukan temanya. Kedua, terkadang pula pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab.
Metode ini memerlukan kitab penunjang seperti, Miftah Kunuz al-Sunnah, karangan al-Muttaqy al-Hindy, Kitab al-Jawami, kitab al-Mustakhrajat wa al-Mustadrakat ala al-Jawami, kitab al-Majami dan kitab al-Zawaid. Kitab-kitab ini adalah kitab-kitab yang bab dan topiknya umumnya berkenaan dengan hal ihwal agama. Kitab-kitab yang paling terkenal dengan masalah ini adalah al-Sunan, al-Mushannafat, al-Muwatha’at dan al-Mustakhrajat ala al-Sunan. Kemudian ada kitab khusus yang menyangkut bab-bab agama atau salah satu aspeknya. Diantara kitab ini adalah al-Ajza’a, al-Targhib wa al-Tarhib, al-Ahkam dan lain-lain. Metode ini jarang dipakai oleh para peneliti hadist dalam kegiatan takhrij.
5.      Takhrij Berdasarkan Status Hadis
Metode ini mengetengahkan suatu hal yang baru berkenaan dengan upaya para ulama yang telah menyusun kumpulan hadis-hadis berdasarkan status hadis, jenis kitab ini sangat membantu dalam proses pencarian hadist berdasarkan statusnya, seperti hadist audisi, hadist mutawatir dan lain-lain.
Dengan kata lain, maksud dari metode ini ialah memperhatikan hal ihwal hadis dan sifat-sifatnya yang terdapat pada matan hadist atau sanad-nya. Jika pada matan hadist terdapat gejala-gejala palsu, maka cara yang paling singkat untuk mengetahui takhrij-nya adalah melihat kitab-kitab “al-Maudhu’at”. Jika hadist itu adalah hadist Qudsi, maka sumber tercepat untuk mencarinya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis-hadis qudsi misalnya kitab al-Azhar al-Mutanasir fi al-Akhbar al-Mutawatirah karangan Suyuti.
Sedangkan pada sanad hadist, jika terdapat ayah yang meriwayatkan hadist dari putranya, maka sumber terdapat untuk men-takhrij-nya adalah kitab-kitab yang khusus menghimpun hadis-hadist yang diriwayatkan bapak dari anak-anaknya seperti kitab riwayat al-Abai AN-al-Abna’I karangan al-Khotib al-Baghdadi. Demikian pula jika sanad itu berangkai atau mursal.
Kelebihan yang dimiliki oleh metode ini adalah mempermudah proses takhrij. Hal ini memungkinkan karena sebagian besar hadist-hadist yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadist sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit. Sedangkan kakurangan dari metode ini ialah cakupannya sangat terbatas.
                                              




BAB III
P E N U T U P

A.    Kesimpulan
1.      Yang dimaksud dengan takhrij al-hadist adalah penelusuran atau pencarian hadist pada berbagai kitab sebagai sumber asli dari hadist yang bersangkutan di dalam sumber itu dikemukakan secara lengkap matan dan sanad hadis yang bersangkutan.
2.      Adapun urgensi dari metode takhrij al-Hadist adalah:
a.       Untuk mengetahui asal-usul hadist yang akan diteliti.
b.      Untuk mengetahui seluruh riwayat hadist yang akan diteliti.
c.       Untuk mengetahui ada tidaknya hadist yang syahid dan mutabi
3.      Ada enam kitab yang dibutuhkan dalam mentakhrij al-hadist, yaitu:
a.       HIdayatul bari ila Alhadisil Bukhori
b.      Mu’jam Al-Fadzi wala siyyama Al-Garibu Minha
c.       Miftahus Shohihain
d.      Al-Bughyatu fi Tartibi Ahadist Al-Hisyah
e.       Al-Jamius Shogir
f.       Al-Mu’jam Almufahras li Alfadz al-Hadist



4.      Metode-metode takhrij dalam penelitian hadist adalah:
a.       Takhrij menurut lafal pertama hadis
b.      Takhrij menurut lafal-lafal yang terdapat dalam hadis
c.       Takhrij menurut perawi terakhir
d.      Takhrij menurut tema hadis
e.       Takhrij menurut klasifikasi jenis hadis.













DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, La Ode Ismail dan Abustani Ilyas.2011.Pengantar Ilmu Hadis.   
       Makassar.Zadahaniva Publishing

Khon, Abdur Majid.2009.Ulumul Hadis.Jakarta.Amzah